" Mencari kesembuhan pake Gelang/Kalung "
Oleh: Abu Hanifah Muhammad Faishal alBantani al-Jawy bin Shalih Abu Ramadhan
(Yayasan Islam Al-Qolam, Bekasi)
“Dan apabila aku sakit, maka Dialah (Alloh) Yang menyembuhkan aku.”(As-Syu’ara: 80)
Pengantar. Akhir-akhir banyak kita temui berbagai terapi penyembuhan dengan tawaran yang terkadang dibalut dengan bungkus agama, bahkan ada yang pakai jaminan halal segala dengan mencantumkan komentar para pasien lintas kalangan yang diduga sudah mengalami kesembuhan. Tujuannya tiada lain untuk menarik minat orang banyak, supaya ikut berobat dan ia sendiri mendapat bonus bisnis MLM.
Mencari kesembuhan adalah perintah agama. Islam mengajarkan, bahwa kalau kita sakit, maka diperintahkan untuk berobat. Berobatnya harus dengan benda yang halal, cara-cara yang dibenarkan, pakai obat yang tepat, sabar menjalani proses penyembuhan, sesuai anjuran. Dan yang lebih penting lagi kepada siapa kita berobat, dan dengan perantaraan apa kita mencari kesembuhan.
Fatwa Lajnah Da’imah, KSA dalam Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram mengharamkan terapi pengobatan klenik, meskipun pada kenyataannya menyembuhkan. Karena kesembuhan lewat jalan klenik hakekatnya adalah istidraj (laknat secara pelan-pelan).
Hukum Berobat pakai Kalung/ Gelang. Hukum berobat dengan sesuatu yang dikalungkan, baik di leher (kalung) maupun di kaki (gelang) diperselisihkan status hukumnya oleh para Ulama. Sebagian ada yang mentolerir, artinya boleh bersyarat, sebagian besar lagi menyatakan tidak boleh sesuai prinsip mencegah pintu kemusyrikan (syaddu zari’ah).
Boleh bersyarat, jika kalung/gelang tadi tidak mengandung unsur-unsur syirik yang bisa menggeser ketawakkalan seseorang, sehingga lebih bergantung kepada kalung/gelang dari pada bergantung/bertawakkal kepada Alloh s.w.t. Sehingga hukum kebolehan ini, dipandang sebagai rukhshah (pengecualian) bukan jaiz atau pembolehan secara terbuka/normal, melainkan terbatas pada penyakitnya tertentu, bukan penyakit secara umum. (ImamAl-Khathabi, Ma’alimus Sunan, 4/226).
Berangkat dari pertimbangan syaddu zari’ah, Fatawa Lajnah Da’imah memilih keputusan hukum tidak boleh, karena mengarah pada kesyirikan, sedang pintu syirik harus ditutup. (Fatawa no: 5318).
Dulunya, kalung/gelang dipakai sebagai obat/penyembuhan lewat bacaan, karena memang teknologinya belum memadai sepertl saat sekarang ini. Bacaan-bacaan ini ada yang ditulis, ada pula yang dibaca dalam bentuk rajah atau jimat secara umum. Hari ini, kalung/gelang itu memakai cara-cara modern. Tapi tujuannya tetap sama, yaitu melindungi (jika belum sakit) atau mengobati jika sudah kena penyakit.
Kedua pola ini dipertemukan oleh niat dan keyakinan. Keyakinan untuk sembuh dari sisi pasien dan keyakinan dapat menyembuhkan dari sisi kalung/gelang. Dalam prinsip pengobatan, sakit dan sembuh harus digantungkan/ dikembalikan sepenuhnya kepada zat yang menurunkan penyakit dan menurunkan obat, yaitu Alloh Jalla Jalaluh. “Dan apabila aku sakit, maka Dialah (Alloh) Yang menyembuhkan aku.” (Qur’an, as-Syu’ara: 80). “Alloh telah menurunkan penyakit dan obat, dan menjadikan bagi setiap penyakit itu ada obatnya. Karena itu, berobatlah kalian. Jangan berobat dengan yang diharamkan.” (HR.Abu Dawud dan Thabarani Shahihul Jami’ no: 1762). Berpegang pada prinsip tauhidullah ini, maka mencari pengobatan di luar prinsip tauhid atau menjurus pada syirik dan praktek klenik, dilarang berdasarkan ijma’. Meskipun ada orang yang berhelah, bahwa ini sekedar perantara, penentu kesembuhannya tetap kita serahkan kepada Alloh. Alasan ini tidak benar karena menyingkirkan aspek cara dan hanya mengindahkan aspek niat. Padahal niat yang ikhlas, tidak dibenarkan memakai cara-cara yang diharamkan (an-niyyatu shalihah la tubarriru’l-haram).
Fatwa Syeikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz
Yang Mulia Fadhilatus Syeikh bin Baz, ketika ditanya hukum memakai gelang kuningan untuk pengobatan. Syeikh bin Baz menjawab: Suratmu telah sampai kepadaku semoga Alloh memberikan ridha-Nya kepadamu dan aku telah mendalami banyaknya brosur-brosur iklan gelang kuningan yang muncul akhir-akhir ini untuk mengatasi penyakit reumatik. Aku beritahukan kepadamu bahwa aku telah banyak mempelajari masalah ini. Aku sudah berkonsultasi mengenai hal ini kepada sejumlah guru besar dan dosen universitas, kami sudah bertukar pikiran mengenai hukumnya. Ternyata ada perbedaan pendapat. Sebagian dari mereka berpendapat tentang kebolehannya, karena mengandung berbagai keistimewaan untuk menolak penyakit reumatik. Sebagian lainnya berpendapat tidak boleh, karena menggantungkannya menyerupai apa yang dilakukan oleh masyarakat Jahiliah. Yaitu kebiasaan mereka menggantung wada’, tamimah, gelang, dan gantungan-gantungan lainnya yang biasa mereka lakukan, serta meyakini bahwa itu dapat menyembuhkan penyakit.
Memakai gelang/kalung menurut mereka merupakan salah satu faktor keselamatan orang yang memakainya dari penyakit ‘ain. Di antaranya apa yang diriwayatkan dari Uqbah bin Amir radhiyAllohu ‘anhu, ia mengatakan, “Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa sallam bersabda.”Barangsiapa menggantung tamimah, semoga Alloh tidak mengabulkan keinginannya dan barangsiapa menggantung wada’ah, semoga Alloh tidak menenteramkannya” [HR Ahmad dalam Al-Musnad no. 16951]
Dalam suatu riwayat. “Barangsiapa menggantung tamimah, maka ia telah syirik” [HR Ahmad dalam Musnad no. 16969]
Dari Imran bin Hushain radhiyAllohu ‘anhuma, bahwa Nabi ShallAllohu ‘alaihi wa sallam melihat seseorang di tangannya terdapat gelang terbuat dari kuningan, lalu beliau bertanya. “Apakah ini?” la menjawab, “Gelang pencegah kelemahan”. Beliau bersabda: “Lepaskan gelang itu, karena ia tidak menambah kepadamu kecuali kelemahan. Sebab, sekiranya kamu mati sementara gelang itu masih ada padamu, maka kamu tidak bahagia selamanya.”( HR Ibnu Majah, no. 3531, kitabAth-Thib, dan Ahmad dalam Al-Musnad no. 19495 dihasankan oleh Al-Bushairi dalam Az-Zawa’id)
Dalam hadits lainnya dari Nabi ShallAllohu ‘alaihi wa sallam dalam suatu perjalanannya, beliau mengutus seorang utusan untuk memeriksa unta tunggangan dan memutus semua yang digantungkan padanya berupa kalung autar (HR Al-Bukhari, no. 3005, kitabAl-Jihad) Kalung ini diyakini oleh masyarakat jahiliyah bisa bermanfaat bagi unta mereka dan bisa berfungsi sebagai perlindungan dari penyakit. Hadits-hadits ini dan sejenisnya, bisa diambil kesimpulan, bahwa tidak boleh menggantungkan sesuatu dari tamimah, wada’, gelang, autar dan sejenisnya berupa jimat-jimat seperti tulang, merjan, dan sejenisnya untuk menolak atau menghilangkan bala
Menurut pendapatku tentang masalah ini ialah lebih baik meninggalkan gelang-gelang tersebut dan tidak memakainya untuk menutup pintu kesyirikan, menutup unsur fitnah dan kecenderungan serta ketergantungan jiwa kepadanya. Cukuplah bagi orang mukmin untuk mengarahkan hatinya kepada Alloh Ta’ala semata dengan keyakinan penuh, sandaran tawakkal, dan merasa cukup dengan sebab-sebab syar’i yang diketahui kebolehannya secara pasti. Apa yang dibolehkan dan dimudahkan oleh Alloh untuk hamba-hamba-Nya tidak perlu terhadap apa yang diharamkan atas mereka, apalagi jika belum jelas duduk perkaranya.
Diriwayatkan secara sah dari Nabi ShallAllohu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda.
“Barangsiapa menjaga diri dari syubhat, maka ia telah melindungi agamanya dan kehormatannya dan barangsiapa terjerumus dalam syubhat, maka ia jatuh dalam keharaman. Seperi penggembala yang menggembala di sekitar tempat terlarang, maka nyaris ia akan masuk ke dalamnya” (HRAl-Bukhari no. 52, kitab Al-lman, dan Muslim no. 1599, kitab Al-Musaqah)
Dan beliau bersabda.”Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu” (HR At-Tirmidzi no,2518, kitab Shifah Al-Qiyamah, dan An-Nasa’i no. 5711 kitab Al-Asyribah, dan Tirmidzi menilainya sebagai hadits hasan shahih)
Tidak diragukan lagi bahwa menggantungkan gelang-gelang tersebut menyerupai perbuatan kaum jahiliyah tempo dulu. Jadi, ini dua kemungkinan; termasuk perkara yang diharamkan lagi syirik atau salah satu sarananya. Minimal, ini termasuk perkara yang syubhat. Dan yang utama bagi setiap muslim dan yang paling berhati-hati ialah menjauhkan dirinya dari perbuatan tersebut, dan merasa cukup dengan pengobatan yang jelas kebolehannya, yang jauh dari syubhat. Inilah yang tampak jelas bagiku serta segolongan ulama dan guru-guru besar di universitas. [sumber: Kitab Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, Al-Allamah Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah ibnu Baaz Rahimahulloh (Syaikh Ibnu Baaz), hal.211-212].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar