Dasar-dasar Memahami Tauhid
- Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab At-Tamimi Rahimahullah Ta’ala.
- Syaikh Prof. DR. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Yahfadzhahullah Ta’ala.
.
- Tim Ahli Tauhid Kerajaan
di dalam Kitab-kitab beliau yaitu Kitab Tauhid Penerbit: Darul Haq,
Disebarluaskan oleh : Yayasan Islam Al-Qolam, Bekasi
Pendahuluan
Ketahuilah, bahwa sesunguhnya kelurusan ajaran Nabi Ibrahim 'alaihis salam adalah
beribadah kepada Alloh secara ikhlas dalam melaksanakan ibadah kepada-Nya. Alloh
berfirman [artinya]: "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka beribadah kepada-Ku. (Adz-Dzariyaat1:56)
Dan bila Anda telah tahu bahwasanya Alloh menciptakanmu untuk beribadah kepada-Nya,
maka ketahuilah bahwa ibadah tidak disebut ibadah kecuali bila disertai dengan tauhid.
Sebagaimana shalat, tidaklah disebut shalat bila tidak disertai dengan bersuci.
Bila ibadah dicampuri syirik, maka rusaklah ibadah itu, sebagaimana rusaknya shalat bila
disertai adanya hadatz (tidak suci). Alloh berfirman [artinya]:" Tidaklah pantas orang-orang
musyrik itu memakmurkan mesjid-mesjid Alloh, sedang mereka mengakui bahwa mereka
sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka itu kekal di dalam
neraka" (At-Taubah: 17)
Oleh karena itu, perlu dipahami bahwa ibadah yang bercampur dengan kesyirikan akan
merusak ibadah itu sendiri. Dan ibadah yang bercampur dengan syirik itu akan
menggugurkan amal sehingga pelakunya menjadi penghuni neraka, Alloh berfirman
[artinya]: "Sesungguhnya Alloh tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni
segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa
yang mempersekutukan Alloh, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar." (An-
Nisaa': 48)
Kemurnian ibadah akan mampu dicapai bila memahami 4 kaidah yang telah Allah
nyatakan dalam firman-Nya:
Kaidah Pertama
Engkau harus mengetahui bahwa orang-orang kafir yang diperangi oleh Rasululloh
shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka meyakini bahwa Alloh sebagai Pencipta, Pemberi
rizki, Yang menghidupkan, Yang mematikan, Yang memberi manfa'at, Yang memberi
madzarat, Yang mengatur segala urusan (tauhid rububiyah). Tetapi semuanya itu tidak
menyebabkan mereka sebagai muslim, Alloh berfirman:
"Katakanlah: 'Siapa yang memberi rizki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapa yang kuasa
[menciptakan] pendengaran dan penglihatan, dan siapa yang mengeluarkan yang mati dari yang
hidup, dan siapa yang mengatur segala urusan?' Maka mereka akan menjawab:'Alloh'. Maka
katakanlah:'Mengapa kamu tidak bertakwa [kepada-Nya]." (Yunus:31)
Kaidah Kedua
Mereka (musyrikin) berkata :"Kami tidak berdo'a kepada mereka (Nabi, orang-orang shalih
dll) kecuali agar bisa mendekatkan kepada Alloh dan mereka nantinya akan memberi
syafa'at. Maksud kami kepada Alloh, bukan kepada mereka. Namun hal tersebut dilakukan
dengan cara melalui syafaat dan mendekatkan diri kepada mereka".
Dalil tentang mendekatkan diri yaitu firman Alloh [artinya]:"Dan orang-orang yang
mengambil pelindung selain Alloh (berkata):"Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya
mereka mendekatkan kami kepada Alloh dengan sedekat-dekatnya". Sesungguhnya Alloh
akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya
Alloh tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar" ( Az-Zumar: 3)
Adapun dalil tentang syafa'at yaitu firman Alloh [artinya]:"Dan mereka menyembah selain
Alloh apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak pula
kemanfa'atan, dan mereka berkata:"Mereka itu adalah pemberi syafa'at kepada kami di sisi
Alloh". Katakanlah:"Apakah kamu mengabarkan kepada Alloh apa yang tidak diketahui-Nya di
langit dan tidak [pula] di bumi" Maha Suci Alloh dan Maha Tinggi dari apa yang mereka
mempersekutukan [itu]." (Yuunus: 18)
Syafa'at itu ada 2 macam:
• Syafa'at munfiyah (yang ditolak)
• Syafa'at mutsbitah (yang diterima)
Syafa'at munfiyah adalah syafa'at yang dicari dari selain Alloh. Sebab tidak seorangpun
yang berkuasa dan berhak untuk memberikannya kecuali Alloh, Alloh berfirman
[artinya]:"Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah [di jalan Alloh] sebagian dari rezki yang
telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan
tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafa'at. Dan orang-orang kafir itulah
orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah: 254)
Adapun syafa'at mutsbitah adalah syafa'at yang dicari dari Alloh. Pemberi syafa'at itu
dimuliakan dengan syafa'at, sedangkan yang diberi hak untuk memberikan syafa'at adalah
orang yang diridhai Alloh, baik ucapan maupun perbuatannya setelah memperoleh izin-
Nya. Alloh berfirman [artinya]:"Siapakah yang mampu memberi syafa'at disamping Alloh tanpa
izin-Nya?" (Al-Baqarah:255)
Copyleft © 2001 www.perpustakaan-islam.com - Islamic Digital Library 4
Kaidah Ketiga
Sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menerangkan kapada manusia tentang
macam-macam sistem peribadatan yang dilakukan oleh manusia. Diantara mereka ada
yang menyembah matahari dan bulan, diantara mereka ada pula yang menyembah orangorang
shaleh, para malaikat, para wali, pepohonan, dan bebatuan.
Mereka semua diperangi oleh Rasululloh shallallahu 'alaihi wa sallam, dalilnya adalah firman
Alloh [artinya]:"Dan perangilah mereka sehingga tidak ada lagi fitnah, dan dien ini menjadi milik
Alloh semuanya."(Al-Baqarah:193)
Sedangkan dalil larangan beribadah kepada matahari dan bulan adalah firman Alloh
[artinya]: "Dan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan.
Janganlah bersujud kepada matahari dan janganlah [pula] kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada
Alloh Yang menciptakannya, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah."(Fushilat:37)
Dan dalil larangan beribadah kepada orang-orang shaleh adalah: "Katakanlah:'Panggillah
mereka yang kamu anggap selain Alloh, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk
menghilangkan bahaya daripadamu dan tidak pula memindahkannya'. Orang-orang yang mereka
seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat
[kepada Alloh] dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab
Rabbmu adalah sesuatu yang [harus] ditakuti. (Al-Ishra:56-57)
Adapun dalil tentang larangan beribadah kepada para malaikat adalah: "Dan [ingatlah] hari
[yang di waktu itu] Allah mengumpulkan mereka semuanya kemudian Alloh berfirman kepada
malaikat:"Apakah mereka ini dahulu menyembah kamu?" Malaikat-malaikat itu menjawab:"Maha
Suci Engkau.Engkaulah pelindung kami, bukan mereka; bahkan mereka telah menyembah jin;
kebanyakan mereka beriman kepada jin itu".Maka pada hari ini sebahagian kamu tidak berkuasa
[untuk memberikan] kemanfaatan dan tidak pula kemudharatan kepada sebahagian yang lain.Dan
Kami katakan kepada orang-orang yang zalim:"Rasakanlah olehmu azab neraka yang dahulunya
kamu dustakan itu". (Sabaa': 40-42)
Larangan beribadah kepada para Nabi dalilnya:"Dan [ingatlah] ketika Alloh berfirman:"Hai
'Isa putera Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia:"Jadikanlah aku dan ibuku dua
orang Ilah selain Alloh". 'Isa menjawab:"Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa
yang bukan hakku [mengatakannya]. Jika aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah
mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri-Mu.
Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib-ghaib"Aku tidak pernah mengatakan
kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku [mengatakannya] yaitu:"Sembahlah
Alloh, Rabbku dan Rabbmu", dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka. Maka setelah Engkau
wafatkan (angkat) aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Meyaksikan
atas segala sesuatu. Jika engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya adalah hamba-hamba
Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana." (Al-Maidah:116-118)
Adapun dalil tentang larangan penyembahan terhadap pepohonan, bebatuan adalah hadits
Abi Waqid Al-Laitsi, dia berkata: " Kami keluar bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam menuju Hunain. Kami adalah para pemuda yang telah mengenal bentuk-bentuk
kesyirikan. Orang-orang musyrik mempunyai tempat duduk untuk beristirahat dan
menggantungkan senjata. Tempat itu dikenal sebagai Dzatu Anwath. Lalu kami melalui
pohon bidara dan [sebagian] kami mengatakan: "Wahai Rasulullah, buatlah bagi kami
Dzatu Anwath seperti yang mereka (musyrikin) miliki. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa
Copyleft © 2001 www.perpustakaan-islam.com - Islamic Digital Library 5
sallam bersabda: "Allahu Akbar, itu adalah assunnan (jalan), kamu kamu telah mengatakan
-demi dzat yang menguasai diriku-sebagaimana yang telah dikatakan oleh Bani Israel
kepada Musa, "Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah ilah (berhala) sebagaimana mereka
mempunyai beberapa ilah (berhala)". Musa menjawab:"Sesungguhnya kamu ini adalah
kaum yang bodoh". Sesungguhnya mereka itu akan dihancurkan kepercayaan yang
dianutnya dan akan batal apa yang selalu mereka kerjakan. Musa menjawab:"Patutkah aku
mencari Ilah untuk kamu yang selain dari pada Alloh, padahal Dialah yang telah
melebihkan kamu atas segala umat." (Al-A'raf:138-140)
Kaidah Keempat
Sesungguhnya kaum musyrik zaman kita labih parah kesyirikannya dibanding musyrikin
zaman dahulu, sebab musyrikin zaman dahulu, mereka berdo'a secara ikhlas kepada Alloh
ketika mereka ditimpa bahaya, akan tetapi mereka berbuat syirik ketika mereka dalam
keadaan senang.
Sedangkan orang-orang musyrik zaman sekarang, mereka terus menerus melakukan
perbuatan syirik, baik dalam bahaya maupun ketika sedang senang, hal ini sebagaimana
diterangkan Alloh dalam Al-Qur'an: "Maka apabila mereka naik kapal mereka berdo'a kepada
Alloh dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya, maka tatkala Alloh menyelamatkan mereka sampai
ke darat, tiba-tiba mereka [kembali] mempersekutukan [Alloh], agar mereka mengingkari nikmat
yang telah Kami berikan kepada mereka dan agar mereka (hidup) bersenang-senang [dalam
kekafiran]. Kelak mereka akan mengetahui [akibat perbuatannya]." (Al-Ankabut: 65-66).
Sekian, Barokalloh’ Fikk…’ (Semoga Alloh Ta’ala merahmati kalian…) Wallohu’Alam Bi Showab.
Created By: Abu Hanifah Muhammad Faishal alBantani al-Jawy, Spd, I.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar